Di tengah meningkatnya harga kebutuhan sehari-hari dan kebijakan pembatasan impor pakaian bekas, dua sahabat muda asal Bandung, Aza dan Malihah, punya cara unik untuk tetap tampil gaya tanpa menguras kantong. Mereka memilih thrifting — atau berburu pakaian bekas layak pakai — sebagai alternatif berhemat sekaligus wujud gaya hidup berkelanjutan.
Fenomena thrifting bukan hal baru di Indonesia. Namun, di tengah aturan pemerintah yang memperketat masuknya pakaian impor bekas, tren ini justru menemukan bentuk baru: munculnya pasar thrifting lokal, di mana pakaian preloved hasil kurasi individu atau butik lokal menjadi incaran generasi muda seperti Aza dan Malihah. Berita Fashion hanya ada di lelitier.fr
Hidup Hemat di Tengah Tekanan Ekonomi
Aza (24), seorang mahasiswa pascasarjana, mengaku mulai rajin thrifting sejak dua tahun lalu. “Awalnya karena pengin hemat. Tapi lama-lama jadi seru, karena bisa dapat barang bagus dan unik,” ujarnya saat ditemui di Pasar Gedebage, Bandung, salah satu pusat thrifting terbesar di Indonesia.
Sementara itu, Malihah (25), pekerja kreatif yang juga sahabat dekat Aza, menambahkan alasan lain. “Harga baju baru sekarang mahal banget, apalagi merek internasional. Kalau thrifting, kita bisa dapat kualitas serupa, bahkan kadang original brand luar, cuma dengan harga Rp30 ribu sampai Rp100 ribu,” katanya sambil tertawa.
Mereka bukan satu-satunya yang berpikir seperti itu. Sejak pembatasan impor pakaian bekas diberlakukan lebih ketat oleh pemerintah pada awal 2024, minat masyarakat terhadap thrifting justru meningkat. Menurut laporan Kompas.com, pencarian daring terkait “thrifting lokal” dan “pakaian preloved” naik hingga 40% sepanjang 2025.
Kebijakan Pemerintah dan Dampaknya pada Pasar Thrifting
Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 40 Tahun 2024 melarang keras impor pakaian bekas dengan alasan kesehatan, higienitas, dan perlindungan industri tekstil lokal. Pemerintah juga menegaskan bahwa peredaran pakaian bekas impor tidak hanya merugikan produsen dalam negeri tetapi juga bisa membawa penyakit menular jika tidak melalui proses sterilisasi.
Namun, larangan tersebut justru membuat pasar thrifting mengalami transformasi baru. Banyak pelaku bisnis lokal yang sebelumnya bergantung pada impor kini beralih menjadi kurator pakaian preloved lokal, memanfaatkan tren gaya hidup hemat dan ramah lingkungan.
Malihah mengakui, sebagian besar koleksi thrifting-nya sekarang berasal dari toko-toko lokal. “Kalau dulu kan banyak yang impor dari Jepang, Korea, atau Eropa. Sekarang lebih ke pakaian dari masyarakat kita sendiri. Banyak yang jual barang pribadi mereka, tapi masih bagus banget,” katanya.
Fenomena ini juga terlihat di platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Instagram, di mana akun-akun thrift lokal semakin menjamur. “Mereka upload tiap malam, jam 7 ke atas, dan kadang barang bagus langsung sold out,” tambah Aza.
Thrifting sebagai Gaya Hidup Berkelanjutan
Selain alasan ekonomi, Aza dan Malihah juga menilai thrifting sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Industri fashion dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Menurut data United Nations Environment Programme (UNEP), industri mode menyumbang 10% dari total emisi karbon global dan menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah tekstil per tahun.
“Daripada beli baju baru terus dan buang yang lama, mending pakai yang sudah ada tapi masih bagus,” ujar Aza. “Kita juga bisa styling ulang, jadi nggak harus punya baju banyak untuk tetap tampil beda.”
Tren ini sejalan dengan prinsip slow fashion — gaya hidup yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan kesadaran terhadap dampak lingkungan dari setiap pilihan pakaian. Banyak anak muda mulai menyadari bahwa membeli barang preloved bukan hanya soal harga murah, tapi juga cara untuk mengurangi jejak karbon.
Tantangan dan Stigma Pakaian Bekas
Meski makin populer, thrifting masih menghadapi stigma negatif. Sebagian masyarakat masih menganggap pakaian bekas sebagai barang “tidak layak” atau “tidak higienis”. Namun, Aza dan Malihah punya cara tersendiri menghadapinya.
“Kita biasanya langsung cuci, rendam pakai disinfektan, lalu jemur di matahari. Kalau perlu disetrika panas biar steril,” jelas Malihah.
Menurut mereka, justru banyak pakaian bekas yang kondisinya masih seperti baru. “Ada juga yang masih ada tag-nya, belum pernah dipakai. Jadi sebenarnya bukan karena kualitas, tapi karena persepsi aja,” tambah Aza.
Toko-toko thrift modern kini juga makin memperhatikan kebersihan dan tampilan. Banyak yang mengemas ulang pakaian dengan rapi, bahkan memberi label dan aroma segar, sehingga pengalaman berbelanja terasa seperti butik konvensional.
Potensi Ekonomi dari Tren Thrifting
Fenomena thrifting tidak hanya bermanfaat bagi konsumen, tapi juga membuka peluang ekonomi baru. Banyak anak muda menjadikannya usaha sampingan atau bahkan sumber penghasilan utama.
Beberapa di antara mereka menjadi reseller yang membeli barang dari pasar fisik dan menjualnya kembali secara online dengan markup harga. Ada pula yang mengkurasi pakaian berdasarkan tema tertentu — seperti “vintage 90s”, “streetwear Korea”, atau “office casual” — untuk menarik target pasar spesifik.
Bahkan, beberapa kreator konten di TikTok dan Instagram mengubah thrifting menjadi hiburan edukatif. Mereka mengunggah video berburu barang bekas, tutorial styling, hingga tips memilih bahan berkualitas. Tagar seperti #ThriftChallenge dan #ThriftFindsIndonesia kini sudah ditonton jutaan kali di media sosial.
Harapan Aza dan Malihah untuk Pemerintah
Meski memahami alasan pemerintah membatasi impor, Aza berharap kebijakan tersebut juga disertai dengan dukungan terhadap pelaku thrift lokal. “Jangan cuma dilarang, tapi bantu juga pelaku lokal biar bisa punya akses ke sistem cuci sterilisasi dan izin usaha yang jelas,” ujarnya.
Malihah menambahkan, “Kalau pemerintah mau dorong ekonomi sirkular, thrifting itu salah satu jalannya. Karena bisa mengurangi limbah dan bantu orang dapat baju bagus dengan harga terjangkau.”
Beberapa pemerintah daerah seperti Bandung dan Yogyakarta bahkan sudah mulai mengakomodasi pasar thrifting lokal dengan aturan yang lebih jelas dan lokasi resmi agar tidak merusak citra kota.
Kesimpulan
Cerita Aza dan Malihah mencerminkan realitas banyak anak muda Indonesia hari ini: mereka ingin tetap tampil stylish tanpa harus boros, sekaligus memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi.
Di tengah pembatasan impor pakaian bekas, thrifting justru menemukan “jiwa barunya” sebagai gerakan lokal — bukan lagi sekadar tren, tapi bagian dari solusi ekonomi dan lingkungan.
Pemerintah diharapkan bisa melihat potensi positif ini, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pemberdayaan generasi muda.

