Pedagang Pakaian Bekas Tak Mau Dijadikan Kambing Hitam

Di tengah kebijakan pemerintah yang makin memperketat impor pakaian bekas, para pedagang pakaian bekas di berbagai pusat grosir dan pasar tradisional mengaku merasa tertuduh dan “dijadikan kambing hitam”. Fenomena ini menjadi sorotan karena meskipun bisnis pakaian bekas atau “thrifting” semakin populer, banyak pedagang yang berhadapan dengan regulasi dan stigma negatif. Artikel ini akan mengulas kondisi terkini pedagang pakaian bekas, apa yang mereka hadapi, mengapa mereka menolak dipersalahkan, serta implikasi untuk industri tekstil dan ritel di Indonesia.Berita Fashion terlengkap hanya ada di lelitier.fr


1. Latar belakang: Kebijakan pemerintah dan dampaknya

Beberapa waktu terakhir, ‎Purbaya Yudhi Sadewa, selaku Menteri Keuangan, menyatakan akan meningkatkan pengawasan terhadap impor pakaian bekas dalam karung (bal­pakaian-bekas) untuk menyelamatkan industri tekstil dalam negeri. cnbcindonesia.com+1
Kebijakan tersebut memunculkan ketidakpastian bagi pedagang pakaian bekas, khususnya di kawasan Pasar Senen, Jakarta, yang mengaku terimbas keputusan tersebut. Para pedagang menyatakan stok mereka menipis karena kapal penyuplai sudah dibatasi atau dihentikan. detikfinance+1
Menurut aturan, sebenarnya bisnis pakaian bekas di Indonesia masih diperbolehkan sepanjang barang bukan termasuk larangan seperti pakaian dalam bekas, linen bekas, atau barang yang membahayakan kesehatan masyarakat. Hukum Online
Namun dalam praktiknya, regulasi yang makin ketat dan penekanan publik terhadap impor bekas membuat para pedagang merasa berada di garis depan konflik antara industri tekstil, regulasi impor, dan ekonomi pasar.


2. Suara pedagang: “Kami tak pantas disalahkan”

Para pedagang pakaian bekas yang telah lama menekuni usaha di Pasar Senen menyampaikan beberapa argumen utama:

  • Beberapa pedagang menyatakan bahwa faktor utama turunnya industri tekstil bukanlah kedatangan pakaian bekas impor, tetapi melemahnya daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi makro yang kurang mendukung. “Dari dulu nggak ada ini gugat-gugat barang second, karena daya beli oke. Sekarang-sekarang saja ekonomi ini, second lah di-kambinghitam apa segala macam.” ungkap salah satu pedagang. detikfinance
  • Mereka merasa bahwa produk pakaian bekas yang mereka jual justru memenuhi permintaan konsumen yang mencari alternatif murah dan masih layak pakai – terutama di masa ketika barang baru semakin mahal.
  • Pedagang juga menyebut bahwa banyak pembeli yang memilih pakaian bekas impor karena kualitas dan mereknya dianggap “lebih original” dibanding produksi lokal. Hal ini menunjukkan adanya keinginan pasar sendiri yang kadang berbeda dari narasi regulator. detikfinance+1
  • Akibat kebijakan yang lebih ketat, para pedagang merasakan tekanan: stok menyusut, harga impor naik, dan potensi pembeli ikut berkurang. Seorang pedagang menyebut: “Kalau tutup banyak yang jadi pengangguran ini.” detikfinance

3. Dampak terhadap industri pakaian bekas dan tekstil

Kedua sisi – pedagang pakaian bekas dan produsen tekstil dalam negeri – sebenarnya saling terkait, namun terkadang mendapatkan tekanan yang berbeda:

  • Untuk pedagang pakaian bekas: kebijakan yang mempersulit impor atau distribusi bisa membuat mereka kehilangan pasokan, sehingga usaha yang selama ini menjadi sumber penghasilan terancam.
  • Bagi industri tekstil dalam negeri: mereka mendapatkan dukungan dan dorongan agar bisa kembali tumbuh, namun tantangannya tidak hanya terkait import bekas — melainkan juga daya beli konsumen, biaya produksi, dan kompetisi global.
  • Jika pedagang pakaian bekas terlalu ditekan atau dibatasi secara ekstrem tanpa solusi alternatif, bisa muncul efek sosial-ekonomi seperti hilangnya lapangan usaha, meningkatnya barang ilegal, atau penurunan aktivitas ekonomi pasar tradisional – sesuatu yang juga diingatkan oleh para pedagang.
  • Dari sudut regulasi, penting untuk memastikan kebijakan tidak hanya bersifat pembatasan, tetapi juga pengaturan yang adil dan realistis untuk semua pelaku – baik produsen lokal maupun pedagang pakaian bekas yang legal.

4. Perspektif konsumen dan tren thrifting

Thrifting atau membeli pakaian bekas bukan sekadar soal murah, tetapi telah menjadi bagian dari gaya hidup banyak kalangan—termasuk generasi muda yang mengutamakan keberlanjutan (sustainability), keunikan, dan nilai cerita di balik pakaian.
Pakaian bekas impor sering dianggap menarik karena merek besar, kualitas yang masih layak, atau bahkan aspek “vintage” yang nilai transaksi dan estetika tinggi. Ini menciptakan ceruk pasar yang signifikan dan berbeda dari produksi massal lokal.
Dengan tren ini, pedagang pakaian bekas legal memiliki potensi pasar yang tetap ada, asalkan mampu memenuhi kebutuhan konsumen dan tetap bersaing dengan produk lokal dan impor baru. Namun jika kebijakan membuat mereka terlalu terbatas, maka pilihan konsumen bisa beralih ke jalur lain — misalnya barang ilegal atau pasar gelap.


5. Rekomendasi agar kebijakan dan pelaku usaha bisa berimbang

Melihat kondisi di lapangan, beberapa langkah dapat diusulkan agar pelaku usaha, regulator, dan konsumen bisa memperoleh manfaat yang lebih seimbang:

  • Regulasi impor pakaian bekas harus dibarengi dengan mekanisme yang jelas dan adil: misalnya kuota impor, sertifikasi kualitas barang bekas, atau tarif yang mengutamakan transparansi.
  • Pemerintah bisa mendorong pengembangan kapasitas pedagang pakaian bekas dalam rantai nilai – misalnya melalui pelatihan pengolahan pakaian bekas, peningkatan kualitas layanan, atau pemanfaatan platform online untuk menjangkau konsumen lebih luas.
  • Produsen lokal tekstil dan ritel juga perlu adaptasi, misalnya melalui diferensiasi produk, peningkatan kualitas, atau kolaborasi dengan platform pakaian bekas agar tidak kehilangan segmen pasar yang bergerak ke thrifting.
  • Konsumen harus semakin sadar akan pilihan mereka — baik soal keberlanjutan, kualitas, dan dampak sosial ekonomi dari konsumsi pakaian bekas maupun baru. Dengan kesadaran konsumen yang meningkat, pasar bisa berkembang lebih sehat.
  • Pelaku usaha pakaian bekas sebaiknya memastikan legalitas usaha mereka (izin-usaha, standar kesehatan, pajak) agar tidak mudah terjatuh ke ranah ilegal dan bisa mendapat perlindungan hukum serta akses ke sumber pasokan yang sah.

6. Tantangan yang masih dihadapi dan yang akan datang

Meski terdapat peluang besar, pedagang pakaian bekas masih menghadapi sejumlah tantangan:

  • Ketidakpastian regulasi dan kebijakan, yang bisa berubah dengan cepat dan membuat usaha jadi rentan.
  • Persaingan dengan produk pakaian baru murah dan impor resmi, yang bisa menekan margin pedagang pakaian bekas.
  • Stigma sosial: masih ada pemahaman di sebagian masyarakat bahwa pakaian bekas adalah “kelas bawah” atau kurang layak, meskipun realitas saat ini telah berbeda.
  • Hambatan distribusi dan logistik: misalnya mendapatkan pasokan impor yang legal dengan prosedur yang makin kompleks, atau naiknya biaya pengiriman serta bea masuk.
  • Perluasan platform digital: pedagang tradisional harus beradaptasi dengan e-commerce agar tetap relevan di pasar yang semakin digital.

Kesimpulan

Pedagang pakaian bekas berada pada titik yang penuh dinamika: dari sisi peluang yang tumbuh lewat tren thrifting dan keberlanjutan, namun juga menghadapi tekanan regulasi dan narasi publik yang kadang kurang berpihak. Ketika pemerintah mencari solusi untuk menyelamatkan industri tekstil, para pedagang bekas merasa menjadi pihak pertama yang disalahkan tanpa mempertimbangkan kompleksitas pasar dan faktor-ekonomi yang lebih luas.
Agar tercipta ekosistem industri pakaian yang lebih adil dan inklusif bagi semua pihak — produsen, pedagang bekas, dan konsumen — diperlukan dialog terbuka, regulasi yang tepat, dan langkah kolaboratif untuk menghadapi perubahan zaman. Pedagang pakaian bekas bukan hanya “pengemis stok impor”, tetapi bagian dari rantai ekonomi kreatif dan konsumsi yang memiliki tempatnya di masyarakat modern.